Cinta itu...

22.12 Edit This 0 Comments »

Katanya, jatuh cinta itu alami, kalau jatuh cinta pada hati yang telah termiliki yang lain itu, dosa ga? –FK, 20th-

Kenapa harus mikir dosa, dosa kan konsep dr manusia, hidup dan hati milik kita, kenapa harus mikir orang lain? –AP, 20th-

Well, percakapan absurd malam ini terangkum dalam beberapa tweet dengan sejumlah teman kampus yang hobinya galau.

Ketika mereka memiliki pemikiran yang cukup seragam, bahwa secara umum mencintai itu bebas, alami, tak ada batasan.

Buat saya, cinta itu realistis, kalau dia sudah milik orang lain, hatinya terbelenggu, mau berjuang seperti apa pun, akhirnya kita harus menerima kekalahan yang menyakitkan.

Ya tapi, kalau ternyata memang dia patut diperjuangkan, mungkin menunggu bisa jadi keputusan yang baik, bukan menikam kekasihnya dari belakang.

Buat saya, ketika kamu ingin bahagia, sederhana, bahagialah di atas kakimu sendiri, yang akan turut mengangkatmu ke udara, bukan bahagia di atas kesedihan orang lain.

Mungkin mustahil, tapi alangkah lebih baik ketika kita bisa meminimalisir rasa sakit orang lain yang disebabkan oleh sikap kita?

Toh, nantinya kita juga tidak mau dikhianati orang lain, bagaimana mungkin kita meminta orang yang kita cintai mengkhianati orang yang memilikinya?


Masih banyak hati yang menunggu untuk diperjuangkan, yang masih sendiri dan membutuhkan pasangan. Biarlah jika memang jodoh, nantinya kalian akan dipertemukan dalam keadaan yang lebih baik J


Bukan cuma kamu, aku juga (pernah) begitu

10.16 Edit This 0 Comments »

“Aku pikir kalian pacaran...” –WJ, 20th- teman seperjuangan menakhlukkan Bahasa Inggris.
Kalimat itu awalnya terasa sesak, mengingatkan kembali pada luka yang semestinya sudah terbalut rapi.
Aku ingin menjawab, “Bukan kamu saja yang berpikir seperti itu,awalnya aku juga punya pikiran dan harapan yang sama”

Ternyata, bukan cuma aku yang punya pikiran kalau sepasang lelaki dan perempuan, selalu terlihat bersama, menemani ke kantin, bergurau di waktu istirahat, pulang dan pergi dengan satu kendaraan itu punya hubungan yang lebih dari sekadar teman.
Berulang kali aku mengelak dan berusaha menjelaskan bahwa hubungan yang saat itu kami jalani memang tak lebih dari sekadar sahabat (setidaknya aku menganggapnya begitu).
Tapi mungkin sinar mata antara aku dan dia memang tidak dapat membohongi orang lain.

Ya,  pada akhir perjalanan aku harus (terpaksa) mengikhlaskan kehilangan dia, menerima kekalahan kalau memang aku dan dia tak harus jadi satu dalam ikatan hubungan. Mungkin memang yang namanya sahabat, ada kalanya mau dicoba dengan cara apa pun akan tetap jadi sahabat, tidak bisa kurang, apalagi lebih.

Sekarang, akhirnya aku sadar, melepaskan dia di waktu itu ternyata membawa lebih banyak tawa dan senyum. Beruntung waktu itu diberi kesempatan itu belajar banyak hal, termasuk belajar ikhlas. Dan akhirnya aku tahu, alasan apa yang dimiliki Tuhan sampai Ia rela mengirimkan dia kembali J

Ikhlas adalah jenis ilmu tertinggi di muka bumi ini. Karena itu penguasaannya begitu sulit. Meskipun sudah berderai-derai basah mata kita dengan air mata, tetap saja mungkin kita masih belum dapat dikatakan sudah menguasainya. Memang betul, hidup adalah belajar. Belajar ikhlas meski tak rela. (via kuntawiaji)

Mungkin suatu waktu nanti, aku akan merentangkan tangan menyambut kamu kembali, sebagai sahabat. Tapi untuk saat ini, aku masih butuh banyak waktu untuk belajar menerima kenyataan J